Kamis, 14 Oktober 2010

PENGERTIAN DESAIN GRAFIS

Secara umum, para pemikir desain sepakat pada pemahaman desain sebagai sebuah pemecahan masalah. Istilah desain dapat diartikan sebagai hasil karya manusia yang harus dapat berfungsi untuk memecahkan suatu masalah serta memudahkan kerja masyarakat penggunanya.

Lahirnya pemahaman desain modern menjadi nyata sejak revolusi industri. Hasil produksi meningkat pesat, menimbulkan persaingan ketat di pasar. Pada saat itu seni rupa dimanfaatkan untuk sarana komunikasi yang bersifat komersial: bagaimana menjual barang. Dalam konteks desain produk, interior dan furnitur, bagaimana menciptakan perangkat rumah tangga yang indah dan fungsional, serta mudah untuk diproduksi dalam konteks industri massal.

Kata grafis mengacu pada pengertian suatu gambar. Dalam Encyclopedia of Graphic Design + Designers (Livingston, 1994: 90) kata "desain grafis" diartikan sebagai: "generic term for the activity of combining typography, illustration, photography and printing for purposes of persuasion, information, or instruction" (Livingston, 1994: 90).

Desain grafis adalah proses merancang gambar atau bentuk-bentuk visual dwimatra (dua dimensi) untuk kepentingan proses komunikasi yang fungsional dan efektif. Tiga fungsi utama desain gratis menurut Livingston adalah: fungsi persuasi, fungsi informasi, dan fungsi instruksi. Secara garis besar ada empat elemen dasar dalam desain grafis:
- ilustrasi
- fotografi
- simbol
- tipografi (headline, sub-headline, dan body copy).

Sejarah desain grafis dalam bentuknya yang paling umum dimulai sejak zaman prasejarah. Pada saat itu orang berusaha mencari cara untuk memberi bentuk visual bagi ide-ide dan konsep-konsep, cara untuk menyimpan pengetahuan dalam bentuk gambar, serta memberi keteraturan dan kejelasan bagi informasi yang akan disampaikan. Kebutuhan akan pekerjaan tersebut sepanjang sejarah diisi oleh berbagai profesi, termasuk profesi juru tulis, ahli cetak, dan seniman.

Sebelum kata "desain" menjadi umum, masyarakat lebih banyak menggunakan istilah "seni terapan". Awal perkembangan desain modern muncul sejak revolusi industri di paruh kedua abad ke-18. Tetapi istilah "pendesain grafis" atau graphic designer itu sendiri baru mulai digunakan sejak tahun 1922 oleh William Addison Dwiggins, seorang perancang buku terkenal di Amerika Serikat. Dia mengartikan pendesain grafis sebagai seseorang yang membuat keteraturan struktural dan bentuk visual ke dalam bentuk cetakan (Meggs, 1993:XIII).

Berkat perkembangan teknologi, maka media komunikasi yang digunakan oleh pendesain grafis berkembang pula hingga menjadi media eletronik dan komputer. Namun esensi dari desain grafis tetap sama, yaitu: "kemampuan untuk memberi keteraturan dalam suatu rangkaian informasi, serta memberi sentuhan eskpresi dan perasaan pada artefak yang merekam pengalaman hidup manusia" (Meggs, 1993: 473). Dengan kata lain, kemampuan untuk menerjemahkan ide dan konsep menjadi bentuk visual yang berfungsi sebagai sarana komunikasi.

Istilah "seni grafis" dan "desain grafis", sebagaimana telah disinggung di awal tulisan, memang sulit dibedakan. Secara sederhana memang dapat dibedakan sebagai berikut: seni grafis berkaitan dengan media ekspresi pikiran dan perasaan seorang seniman dengan menggunakan teknik cetak. Sedangkan desain grafis berkaitan dengan media komunikasi yang dirancang seorang pendesain untuk menyampaikan pesan dari klien kepada kelompok sasaran tertentu. Dalam praktiknya, seni (yang sering diartikan sebagai sarana untuk mengungkap rasa keindahan) dan desain (sarana komunikasi yang fungsional) sering berbaur. Bila dilihat dari sejarahnya, produk-produk yang kini dikategorikan sebagai sebuah desain pada awalnya memang dikerjakan oleh seniman.

Sebelum revolusi Industri, bentuk-bentuk pengumuman dan promosi dikerjakan secara manual oleh artis/seniman atau para ahli cetak. Buku-buku kuno dilukis dan dihias oleh seniman. Tetapi karena tuntutan kebutuhan dalam jumlah banyak, maka digunakanlah pelbagai teknik pengerjaan yang mempermudah, seperti teknik cetak. Setelah berkembangnya film dan televisi, banyak perupa dan perancang grafis menggeluti bidang baru ini. Untuk membuat bagian judul dan nama-nama pembuat film (credit title), dilibatkanlah para perancang grafis. Untuk perancangan dan pengerjaan iklan TV, art director sebuah biro periklanan harus memahami audio-visual.
Keterlibatan ini semakin jauh lagi dengan berkembangnya teknologi komputer grafis yang dapat mengolah gambar dari kamera video. Dengan semakin berkembangnya bidang profesi desain grafis, istilah "desain grafis" dirasakan semakin sempit. Pengertian "grafis"—yang erat kaitannya dengan teknik cetak—dianggap tak mampu mencakup proses desain yang dilakukan media audio-visual elektronik. Karena itulah istilah desain grafis diperluas menjadi desain "komunikasi visual". Tetapi selama peranan medla cetak masih kuat dalam proses komunikasi di masyarakat, maka selama itu pula istilah desain grafis akan tetap digunakan berdampingan dengan istilah desain komunikasi visual.
Awal mula desain adalah seni. Seni adalah keahlian estetis dan kreatif yang dimiliki orang-orang khusus yang (dianggap) serba bisa. Seni adalah segala sesuatu hasil karya yang berhubungan dengan estetika dalam berbagai tafsirannya, tanpa harus menjadi fungsional. Esensi seni adalah pada upaya mengungkapkan atau mengekspresikan pikiran (sadar hingga bawah sadar) dan perasaan (keindahan dan ketidak-indahan) dari pembuat/senimannya.
Istilah "craft" atau kriya lebih merupakan perpaduan antara seni dan desain: berhubungan dengan benda pakai yang dibuat dengan keterampilan tangan dan rasa keindahan. Karena dikerjakan dengan tangan (manual), maka biasanya kriya dibuat dalam skala industri kecil (baca bagian Arts and Crafts Movement). Pada awalnya definisi kriya terbatas pada seniman-kriyawan "....conceiving, producing, exhibiting and selling their wares on a one-off basis without regard for the market". Definisi ini dalam perkembangan zaman diperluas lagi, "...to represent a direct relationship with the materials and end-product and thus, by extension, a form of material research".

Sumber : Hal. 24—28 Tinjauan Desain Grafis oleh: Arief Adityawan S & Tim Litbang Concept

Sabtu, 06 Februari 2010

Environment Graphic Design (EGD


Environment Graphic Design atau istilahnya Graphic Lingkungan adalah segala bentuk grafik yang ada di lingkungan, termasuk di dalamnya berupa tanda-tanda penunjuk arah, papan pengumuman, ornament graphis pada sebuah bangunan, pelat nama di gedung-gedung, juga segala bentuk tulisan pada objek dua maupun tiga dimensi.

Ruang lingkup EGD mencakup signage, wayfinding system, exhibition design, information design, pictogram juga placemaking. Jagi project EGD bias melibatkan arsitek, interior design, landscape maupun industrial design.

Desain graphis yang anda buat di media dua dimensi jika diaplikasikan ke tiga dimensi akan sangat berbeda. Ada strategi dan kondisi yang harus diperhatikan :

Unsur kedalaman
EGD didesain untuk ditampilkan secara fisik di sebuah bangunan atau tempat atau ruang public. Mempunyai ketebalan dan kedalaman yang bias dilihat dari berbagai sisi. Tidak seperti media dua dimensi yang cukup dicetak diatas kertas. EGD parlu dirakit atau dibuat di pabrikan.

Skala atau ukuran
Ukuran berpengaruh terhadap unsure kejelasan dan visibility sebuah objek terutama untuk penempatan di outdoor. Sign untuk indoor biasanya mempunyai ukuran lebih kecil. Ukuran idealnya tidak merusak keindahan sebuah bangunan atau mengganggu kenyamanan mata.

Konteks
Penempatan sign atau produk dari EGD harus disesuaikan dengan kebutuhan, factor ergonomic, kenyamanan dan kesesuaiannya dengan lingkungan sekitar seperti landscape background, arah datangnya cahaya matahari, jenis material yang digunakan, arsitektur bangunan, dan factor demografi.

Complexity
Project, proses, dan elemen-elemen dari EGD punya tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Selain melibatkan kolaborasi antara desainer dan arsitek, dasar-dasar pengetahuan tentang material atau bahan sangat diperlukan.

Tipografi
Penggunaan jenis huruf untuk teks signage sangat dibatasi.
Pemilihan font untuk bangunan atau gedung di kota tentu akan berbeda untuk di museum atau tempat-tempat bersejarah. Cara penulisan huruf juga harus mudah dibaca dalam jarak tertentu.




Tingkat Ketahanan
Sebagai unsur penunjang bagi sebuah tempat atau bangunan. Sign system harus mampu bertahan dalam jangka waktu cukup lama dan tahan di segala kondisi cuaca. Kelembaban, hujan dan cahaya matahari adalah factor-faktor yang harus diperhitungkan.

Warna
Penggunaan kombinasi warna yang kontras untuk teks dan background bias membantu kejelasan signage dan visibility tulisan atau gambar. Penggunaan warna sebagai elemen visual sign juga berfungsi untuk memberikan penekanan atau identitas tempat yang bersangkutan. Warna sebaiknya digunakan secara berulang untuk mempermudah identifikasi sign atau kesamaan identitas tempat.

Multidisiplin
Desainer EGD biasanya bekerja dalam tim yang terdiri dari signage programmers, desainer, drafting technicians, arsitek, arsitek landscape, lighting designer dan lain-lain yang kebanyakan multidisiplin.

Masa produksi
Project-project desainer grafis seringkali memakan waktu berminggu-minggu hingga bulanan. Lain halnya dengan EGD assignments yang membutuhkan waktu hingga beberapa tahun karena pengerjaannya kadang pararel dengan sang arsitek.

Disadur dari: artikel topik utama majalah concept vol 04 edisi 23’2008
Oleh: Okky Ardya W.

Selasa, 02 Februari 2010

Kekuatan Huruf Dalam Desain

Sebagai desainer tentunya paham bahwa masing-masing elemen visual memiliki potensi untuk menghadirkan kekayaan gagasan mental yang berbeda-beda nuansanya.
Akan tetapi banyak sekali desainer yang lebih terpaku kepada gambar, baik berupa ilustrasi ataupun fotografi. Sedangkan huruf sering dianggap sebagai pengganggu “keindahan” visual, terutama apabila hadir dalam bentuk teks yang panjang. 

A. Huruf sebagai figure informative
Tipografi adalah hal yang secara special mempermasalahkan tentang huruf. Tipografi merupakan lingkup dan wujud dari segala perlakuan terhadap huruf sehingga huruf bisa menampilkan fungsi keterbacaan dan fungsi kesan visual. Perlakuan itu bisa berupa kegiatan membuat bentuk huruf atau berupa membuat komposisi huruf.
Huruf memiliki peran penting dalam proses komunikasi tertulis. Kepastian huruf dalam menampilkan maksud membuatnya menjadi tokoh utama dalam proses penyampaian informasi. Sebagai figur informatif, huruf sebaiknya memenuhi persyaratan teknis dari segi ketampakan (legibility), keterbacaan (readability) dan aspek aspek ergonomik lainnya. Meskipun huruf memiliki tugas utama untuk menyampaikan maksud, tetapi bentuk huruf yang dipakai juga tetap harus dapat mendukung maksud dari isi. Dengan kata lain, huruf harus bisa berperan sebagai isi sekaligus sebagai wadah.
Pada sebuah logo, huruf dapat tampil sebagai informasi nama dari produk atau perusahaan. Pada kemasan, huruf dapat tampil sebagai logo dari produk dalam bentuk brand (dan sub brand), deskripsi produk dan informasi pendukung lainya.

B. Huruf sebagai figure identitas
Untuk dapat eksis dalam lingkunganya, suatu entitas (dapat berupa produk, pelayanan, perusahaan, atau perorangan) sebaiknya memiliki identitas yang unik, yang dapat membedakanya dengan entitas lain. Dalam proses kehidupanya, suatu entitas perlu memiliki symbol identitas visual agar dapat secara lebih efisien mengkomunikasikan jati diri dan gagasan gagasan yang dikembangkanya kepada pemerhatinya. Huruf merupakan elemen simbolisasi yang banyak digunakan karena dianggap sebagai medium yang paling efektif dalam menyampaikan informasi dan identitas dari entitas yang dimaksud.

# Fungsi huruf sebagai symbol identitas : Syarat utama agar huruf dapat berfungsi sebagai symbol (pemberi tanda) adalah memiliki bentuk yang khas, sehingga mudah untuk dikenali (karena mengandung nilai perbedaan dengan yang lain) dan dapat secara tepat diasosiasikan dengan jati dirinya. Berdasarkan pemahaman ini, apabila kita menggunakan huruf yang sudah tersedia sebagai sebuah symbol, maka hal itu akan dapat mengurangi keistimewaan hubungan identik antara entitas dengan simbolnya.
# Fungsi huruf sebagai pembawa karakter identitas: Selain sebagai symbol, huruf juga berfungsi sebagai pembawa karakter. Dalam hal ini, huruf dapat menggambarkan mentalitas dari suatu entitas. Misalkan di hadapan kita ada dua buah produk coklat. Produk yang satu ditujukan untuk anak muda yang ingin merasakan pengalaman unik sensasi coklat rasa manis-pahit (seperti rasa jatuh cinta). Sedangkan produk yang kedua ditujukan untuk keluarga, dari anak sampai orang tua yang ingin mendapat manfaat gizi dan kalori serta rasa coklat bertabur kacang yang baik untuk dikonsumsi saat sarapan. Kedua produk ini tentunya memiliki gambaran mentalitas yang berbeda, yang dapat memberi inspirasi berbeda terhadap penggunaan huruf sebagai identitasnya. 

C. Huruf sebagai tekstur
Apabila sejenak kita “melepas kaidah makna figure” dari huruf, maka susunan atau komposisi huruf dapat dinilai sebagai tekstur pada sebuah bidang. Pada sebuah logo kita dapat menilai keseimbangan antara figure dan latar, atau antara ruang huruf dan ruang sisa sebagai tekstur yang proporsional. Penetapan jarak antar huruf (kerning) yang proporsional atau rekonstruksi bentuk huruf agar terlihat berimbang, bisa saja dilakukan agar logo memiliki ikatan antar huruf yang kuat dan ringkas.

Perlakuan pada huruf = kemampuan desainer
Huruf yang “sekali lagi” kurang mendapat perhatiann lebih dari desainer, justru berpotensi “merusak” citra keseluruhan visual dari suatu karya desain. Masih banyak ditemukan kasus tentang sebuah desain yang menjadi “rusak” karena kekurang telitian desainer pada sisi penentuan bentuk huruf penunjang konsep, atau desain yang terlalu banyak menggunakan jenis huruf yang kurang mendukung tema, atau desain yang factor keterbacaan hurufnya lemah, padahal sangat dibutuhkan kejelasan informasinya, atau logo yang kerningnya kurang seimbang, dan banyak kasus sejenisnya. Kendali desainer terhadap detil visual bisa menjadi tolok ukur untuk menilai kemampuan umum seorang desainer.

Penutup
Dari uraian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwasanya huruf memiliki kekuatan yang sangat besar terhadap suatu desain secara keseluruhan. Dan jika seorang desainer tidak berhati hati dalam pemilihan, penggunaan dan pengaturannya, huruf dapat berpotensi “merusak” suatu karya desain. Akan lebih baik jika desainer grafis makin memperdalam pengenalan terhadap huruf. Dengan makin mengenal bahwa huruf berperan besar dalam proses informasi, proses simbolisasi identitas dan dalam proses pembangunan karakter, mudah-mudahan akan menipiskan kebencian kita pada huruf yang juga akan meningkatkan nilai kemampuan kita sebagai desainer.

Notes:
Disadur dari: artikel topik utama majalah concept vol 01 edisi 05’05
Oleh: Eka Sofyan Rizal (desainer grafis dialogue+design)

Nirmana

Nirmana adalah pengorganisasian atau penyusunan elemen-elemen visual seperti titik, garis, warna, ruang dan tekstur menjadi satu kesatuan yang harmonis. Nirmana dapat juga diartikan sebagai hasil angan-angan dalam bentuk dwimatra, trimatra yang harus mempunyai nilai keindahan. Nirmana disebut juga ilmu tatarupa. Elemen –elemen seni rupa dapat dikelompokan menjadi 4 bagian berdasarkan bentuknya.
1. Titik, titik adalah suatu bentuk kecil yang tidak mempunyai dimensi. Raut titik yang paling umum adalah bundaran sederhana, mampat, tak bersudut dan tanpa arah. 
2. Garis, garis adalah suatu hasil goresan nyata dan batas limit suatu benda, ruang, rangkaian masa dan warna. 
3. Bidang, bidang adalah suatu bentuk pipih tanpa ketebalan, mempunyai dimensi pajang, lebar dan luas; mempunyai kedudukan, arah dan dibatasi oleh garis. 
4. Gempal, gempal adalah bentuk bidang yang mempunyai dimensi ketebalan dan kedalaman. 
Penyusunan merupakan suatu proses pengaturan atau disebut juga komposisi dari bentuk-bentuk menjadi satu susunan yang baik. Ada beberapa aturan yang perlu digunakan untuk menyusun bentuk-bentuk tersebut. Walaupun penerapan prinsip-prinsip penyusunan tidak bersifat mutlak, namun karya seni yang tercipta harus layak disebut karya yang baik. Perlu diketahui bahwa prinsip-prinsip ini bersifat subyektif terhadap penciptanya.
Dalam ilmu desain grafis, selain prinsip-prinsip diatas ada beberapa prinsip utama untuk tujuan komunikasi dari sebuah karya desain.
1. Ruang Kosong (White Space) 
Ruang kosong dimaksudkan agar karya tidak terlalu padat dalam penempatannya pada sebuah bidang dan menjadikan sebuah obyek menjadi dominan.
2. Kejelasan (Clarity) 
Kejelasan atau clarity mempengaruhi penafsiran penonton akan sebuah karya. Bagaimana sebuah karya tersebut dapat mudah dimengerti dan tidak menimbulkan ambigu/ makna ganda.
3. Kesederhanaan (Simplicity) 
Kesederhanaan menuntut penciptaan karya yang tidak lebih dan tidak kurang. Kesederhanaan seing juga diartikan tepat dan tidak berlebihan. Pencapaian kesederhanaan mendorong penikmat untuk menatap lama dan tidak merasa jenuh.
4. Emphasis (Point of Interest) 
Emphasis atau disebut juga pusat perhatian, merupakan pengembangan dominasi yang bertujuan untuk menonjolkan salah satu unsur sebagai pusat perhatian sehingga mencapai nilai artistic.
Prinsip – prinsip dasar seni rupa
1. Kesatuan (Unity) 
Kesatuan merupakan salah satu prinsip dasar tata rupa yang sangat penting. Tidak adanya kesatuan dalam sebuah karya rupa akan membuat karya tersebut terlihat cerai-berai, kacau-balau yang mengakibatkan karya tersebut tidak nyaman dipandang. Prinsip ini sesungguhnya adalah prinsip hubungan. Jika salah satu atau beberapa unsur rupa mempunyai hubungan (warna, raut, arah, dll), maka kesatuan telah tercapai. 
2. Keseimbangan (Balance) 
Karya seni dan desain harus memiliki keseimbangan agar nyaman dipandang dan tidak membuat gelisah. Seperti halnya jika kita melihat pohon atau bangunan yang akan roboh, kita measa tidak nyaman dan cenderung gelisah. Keseimbangan adalah keadaan yang dialami oleh suatu benda jika semua dayan yang bekerja saling meniadakan. Dalam bidang seni keseimbangan ini tidak dapat diukur tapi dapat dirasakan, yaitu suatu keadaan dimana semua bagian dalam sebuah karya tidak ada yang saling membebani. 
3. Proporsi (Proportion) 
Proporsi termasuk prinsip dasar tata rupa untuk memperoleh keserasian. Untuk memperoleh keserasian dalam sebuah karya diperlukan perbandingan –perbandingan yang tepat. Pada dasarnya proporsi adalah perbandingan matematis dalam sebuah bidang. Proporsi Agung (The Golden Mean) adalah proporsi yang paling populer dan dipakai hingga saat ini dalam karya seni rupa hingga karya arsitektur. Proporsi ini menggunakan deret bilangan Fibonacci yang mempunyai perbandingan 1:1,618, sering juga dipakai 8 : 13. Konon proporsi ini adalah perbandingan yang ditemukan di benda-benda alam termasuk struktur ukuran tubuh manusia sehingga dianggap proporsi yang diturunkan oleh Tuhan sendiri. Dalam bidang desain proporsi ini dapat kita lihat dalam perbandingan ukuran kertas dan layout halaman. 
4. Irama (Rhythm) 
Irama adalah pengulangan gerak yang teratur dan terus menerus. Dalam bentuk –bentuk alam bisa kita ambil contoh pengulangan gerak pada ombak laut, barisan semut, gerak dedaunan, dan lain-lain. Prinsip irama sesungguhnya adalah hubungan pengulangan dari bentuk –bentuk unsur rupa.
5. Dominasi (Domination) 

Dominasi merupakan salah satu prinsip dasar tatarupa yang harus ada dalam karya seni dan deisan. Dominasi berasal dari kata Dominance yang berarti keunggulan . Sifat unggul dan istimewa ini akan menjadikan suatu unsure sebagai penarik dan pusat perhatian. Dalam dunia desain, dominasi sering juga disebut Center of Interest, Focal Point dan Eye Catcher. Dominasi mempunyai bebrapa tujuan yaitu utnuk menarik perhatian, menghilangkan kebosanan dan untuk memecah keberaturan.

Sumber : Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain, Drs. Sadjiman Ebdi Sanyoto, Yogyakarta 2005

Semiotika Desain Komunikasi Visual

Menafsir Yang Tampak,
Mengungkai Yang Tak Tampak


Telah lama dipercaya bahwa gambar (hal-hal yang visual) memiliki kekuatan melebihi seribu kata-kata. Akan tetapi, bagi William Saroyan, itu hanya bisa terjadi jika orang berpikir dan mengatakannya lewat seribu kata-kata tatkala melihat yang visual itu. Dengan kata lain, proses tafsirlah sejatinya yang menjadikan yang visual memiliki makna. 

Ada baiknya kita ingat lelucon dari komedian kondang Amerika, Groucho Marx, yang disitir dalam buku terbaru Goenawan Mohammad bertajuk Tuhan dan Hal-Hal Yang Tak Selesai (Jakarta: Kata Kita, 2007). Suatu kali Groucho Marx dimintai identitasnya, maka ia pun menjawab, “Maaf, aku tak punya foto. Tapi tuan bisa ambil jejak kakiku. Itu ada di kaos kakiku.” Di sini Marx mengontraskan foto dan jejak di kaos kaki. Lewat jejak itu barangkali kita tahu seberapa jauh sebuah perjalanan telah ditempuh. Tapi sekaligus kita sadar bahwa jejak itu pun kelak akan terhapus.

Harus diakui, kini dunia kita kian dikepung oleh hal-hal yang bersifat visual. Dieja secara lain, kini tengah membiak kultur visual lewat pelbagai media seperti billboard, mural, komik, sinema, televisi, komputer, telepon selular dan sebagaimya. Kultur visual seakan mengolonisasi nyaris semua faset hidup kita. 

Buku karya Sumbo Tinarbuko bertajuk Semiotika Komunikasi Visual mengangkat salah satu medan dari pertumbuhan kultur visual itu yang disebut dengan “desain komunikasi visual.” Karena itu, buku ini mesti diletakkan secara terbatas pada bidang desain komunikasi visual saja ketimbang pada pelbagai bentuk visual yang ada di berbagai media. Meski demikian, buku ini mengisi kelangkaan bahan bacaan tentang semiotika di tanah air. Memang telah terbit beberapa buku tentang semiotika, tapi lazimnya berkutat di wilayah kritik sastra. Jika ada buku pengantar semiotika yang bersifat umum pun lazimnya merupakan karya terjemahan, misalnya buku Arthur Asa Berger bertajuk Tanda-Tanda Kebudayaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000) yang lebih banyak menggunakan contoh yang berasal dari masyarakat Barat.


Anatomi Buku
Buku setebal 115 halaman ini dipilah ke dalam lima bab. Bab pertama berupa pendahuluan yang memaparkan pengantar buku yang disusul dengan dua bab yang memaparkan semiotika sebagai ilmu dan teori desain komunikasi visual. Bab keempat agaknya dimaksudkan sebagai aplikasi semiotika komunikasi visual pada iklan layanan masyarakat, desain kaos oblong dan rambu lalulintas untuk pariwisata serta ditutup bab kelima.

Bab kedua buku ini yang bertajuk “Semiotika Sebagai Ilmu” sesungguhnya perlu diikuti pemaparan tentang semiotika sebagai metode. Ini karena buku ini pada dasarnya menjadikan semiotika sebagai metode yang digunakan untuk membedah desain komunikasi visual. Sebagai sebuah metode, semiotika akan membantu pengkajinya menelisik dan menafsir tanda. Sebagaimana penulis buku ini menyampaikan argumennya, “Mengingat DKV [desain komunikasi visual] mempunyai tanda bahasa berbentuk bahasa verbal dan visual, serta merujuk pada teks DKV dan penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem non-kebahasaan untuk mendukung peran kebahasaannya, maka pendekatan semiotik terhadap DKV layak diterapkan.”

Kelebihan buku ini agaknya terletak pada pelbagai contoh yang diangkat sebagai bahan kajian. Contoh-contoh yang diangkat tersebut, terutama bagi masyarakat Yogyakarta, memang telah begitu akrab seperti desain kaos oblong merek “Dagadu” atau rambu-rambu lalulintas untuk pariwisata. Sebagian contoh yang lain diambil dari iklan layanan masyarakat yang pernah dimuat di harian Kompas beberapa tahun silam. Karena itu, pemaparannya menjadi lebih mudah diikuti apalagi buku ini ditulis dengan bahasa yang mengalir lancar. 

Berangkat dari pelbagai contoh itu, Sumbo lantas berusaha menguak tanda serta kode sosial atau kultural (yang tak jarang bersifat lokal) dari teks yang dianalisanya. Inilah yang digarisbawahi penulis pengantar buku ini Yasraf Amir Piliang, bahwa buku ini mampu menunjukkan kode kultural dan semantika “yang bersifat indegenous, yang hidup di dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat dan kebudayaan Jawa” (hal.xii-xiii). Piliang menambahkan, “Di dalamnya terdapat kode-kode tentang kearifan lokal (kebersamaan, gotong royong), mitos-mitos (keperkasaan, kecantikan), keunikan tempat (pasar burung, keraton), keunikan figure of speech (plesetan, gothak-gathuk), dan kode jender (maskulinitas, feminitas)” (hal.xiii)


Beberapa Kritik
Buku Semiotika Komunikasi Visual sejak awal tidak secara jelas memposisikan diri dari dua tradisi besar: semiologi (dengan tokohnya Ferdinand de Saussure) dan semiotika (Charles Sanders Pierce). Jika ditilik dari judul buku “Semiotika Komunikasi Visual” tampaknya dekat dengan tradisi semiotika Piercian, akan tetapi ketika kita buka daftar pustaka justru yang kita temui acuan pada buku Saussure dan nyaris tidak ada acuan pada karya Pierce. Memang, harus diakui, akses terhadap karya Pierce tidak mudah, tapi setidaknya ini bisa dilakukan lewat karya penafsir atau pengulas pemikirannya. Pemahaman terhadap dua tradisi ini penting karena memiliki implikasi pada cara memahami dan menginterpretasi tanda mengingat keduanya berangkat dari epistemologi yang berbeda pula.

Persoalan yang bertautan dengan hal-hal yang visual barangkali adalah kecenderungan mengartikan “yang diketahui” dengan yang “tampak.” Inilah gejala yang kerap disebut dengan istilah “kebudayaan okulosentris” yakni segala hal yang bertautan dengan bahasa terhubung kini dengan mata. Justru di sinilah kritik dialamatkan pada semiotika komunikasi visual : pemakaian metafora bahasa untuk hal-hal yang bersifat visual. 

Sayangnya, buku ini tak melihat problematika (sekaligus ketengangan terus-menerus) antara yang verbal dan visual. Padahal tak jarang antara keduanya tak selalu berjalan seiring, malah bisa saling bertabrakan. Seperti kita tahu, cara berpikir ala bahasa verbal berbeda dengan berpikir secara visual. Bahasa verbal cenderung bersifat linear dan sekuensial, sedangkan hal-hal yang visual cenderung holististik, intuitif bahkan sensual. Karena itu, muncul sejumlah keberatan tatkala prinsip-prinsip dalam medium baca-tulis hendak diaplikasikan pada medium visual. Ini karena berbeda dengan bahasa verbal yang memiliki abstraksi tingkat tinggi (dan lebih bersifat simbolik), hal-hal yang visual lebih banyak bersifat non-verbal dan non-kognitif. 

Barangkali bagian yang penting untuk dicermati dalam buku ini adalah bab empat yang berisi analisa terhadap desain komunikasi visual. Kendatipun penulis buku ini memberikan perhatian yang jeli terhadap pelbagai aspek dalam “teks” (desain komunikasi visual) yang dianalisa, ada kekurangkritisan terhadap konteks munculnya teks tersebut terutama iklan layanan masyarakat (ILM). Padahal, kita tahu, ILM Gerakan Disiplin Nasional versi “Cespleng”, misalnya, adalah bagian dari upaya pemerintah (gagasannya berasal dari Menteri Susilo Sudarman) mengatasi problem sosial lewat cara yang cenderung berbau militeristik lewat gerakan disiplin. Upaya “pendisiplinan” masyarakat itu lantas diterjemahkan lewat penerjunan sejumlah orang yang memakai rompi (disertai tulisan “Penegak Disiplin”) di sejumlah jalan raya untuk menertibkan perilaku anggota masyarakat. Menurut saya, body copy ILM itu justru bersifat “subversif” terhadap upaya pemerintah karena menyatakan sikap disiplin sejatinya “sudah berada di dalam diri kita sendiri” ketimbang harus mengerahkan aparat penegak disiplin. 

Ada sejumlah persoalan teknis yang penting menjadi catatan barangkali jika kelak dilakukan revisi terhadap buku ini. Pertama, kekurangakuratan dalam penulisan nama tokoh penting perintis semiotika Charles Sanders Pierce (1839-1914) yang ditulis “Charles Sander Pierce” (hal. 11). Mengingat buku ini berbicara ihwal semiotika semestinya kekurangakuratan semacam ini bisa dihindari sejak dini. 

Kedua, lebih dari persoalan salah ketik tampaknya penulis kurang bisa memahami perbedaan makna antara sebutan “miss” dan imbuhan “mis”, sehingga muncul bentukan kata yang aneh, “misscommunication” (hal.31). Sepintas barangkali ini persoalan remeh, tetapi bisa melahirkan makna yang berbeda di benak pembaca. Apalagi buku ini menjadikan komunikasi sebagai salah satu pokok bahasannya.

Ketiga, seluruh desain komunikasi visual yang dianalisa dalam bab empat ditampilkan nyaris hanya berwarna hitam dan putih. Padahal dari sampul depan buku ini semua desain itu terlihat warna-warni. Sebagaimana kita tahu, dalam semiotika komunikasi visual di samping huruf, tipografi, komposisi dan tata letak, warna memiliki makna tersendiri lebih dari sekadar pernak-pernik atau pemanis desain.

Keempat, analisa komunikasi visual terhadap rambu lalu lintas versi “Gunung Merapi” (hal.93-94) tidak disertai ilustrasi sehingga menyulitkan pembaca memahami objek yang dianalisa. Kesulitan ini juga disebabkan tak ada deskripsi yang rinci dari penulis terhadap objek yang dikaji. Akibatnya, pembaca hanya bisa membayangkan objek yang tengah dikaji yang nota bene bersifat visual. 


Penutup
Terlepas dari sejumlah kekurangan yang melekat dalam buku ini, Sumbo Tinarbuko lewat buku ini setidaknya telah membuka medan baru yang bisa dieksplorasi dengan menggunakan semiotika. Apalagi selama ini masih ada anggapan bahwa bidang desain komunikasi visual sekadar bertautan perkara kreativitas dari seorang desainer dan tujuan-tujuan pragmatis untuk merebut perhatian konsumen. Buku ini menunjukkan pada pembaca bahwa senantiasa ada tanda dan kode sosial di balik setiap desain komunikasi visual.

Pada akhirnya, jantung dari semiotika adalah pengejawantahkan pengalaman manusia lewat struktur interpretatif yang dimediasi melaui tanda-tanda. Karena itu, proses menafsir bertautan erat sifat manusiawi kita. Tak aneh, jika kita menerima kenyataan bahwa dunia yang kita huni adalah semesta tanda, maka pada mulanya bukanlah Kata, melainkan tafsir. Semiotika menjadi karib kita saat melakoni proses menafsir yang tak jarang dipenuhi kelokan.

*) Pokok-Pokok Pikiran disampaikan dalam Peluncuran Buku “Semiotika Komunikasi Visual” karya Sumbo Tinarbuko diselenggarakan oleh Penerbit Jalasutra dalam rangka “Pesta Buku Jogja 2008,” Yogyakarta, Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, 6 Februari 2008. 

Semiotika Komunikasi Visual dalam Karya DeKaVe

Semiotika dan Desain Komunikasi Visual (DeKaVe) sejatinya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan lainnya.
Mengapa demikian? 
Karena menurut fitrahnya, semiotika adalah ilmu tanda yang berfungsi menjaring makna atas segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. 
Sedangkan DeKaVe adalah produsen tanda yang menghasilkan jutaan makna yang di dalam kesehariannya diabdikan untuk memecahkan masalah komunikasi visual atas segala aktivitas kehidupan manusia di jagad raya ini. 
Artinya, siapa pun yang tergerak dan bergerak dalam ranah wacana maupun praksis DeKaVe, mereka sesungguhnya parakreator tanda yang piawai mengreasikan berjuta-juta makna penuh warna. Sementara itu, jutaan makna penuh warna yang merekah dari karya DeKaVe, diyakini mampu membawa berkah, kabar gembira, dan warta damai bagi kemaslahatan umat manusia.
Fitrah lainnya, Semiotika dan DeKaVe adalah pasangan hidup yang diciptakan untuk menghidupkan makna pesan verbal dan pesan visual dalam keseharian proses komunikasi secara horisontal antara manusia yang satu dengan lainnya, antara manusia dengan lingkungannya, dan antara manusia dengan Sang Khalik Yang Maha Esa.
Tanda menurut Semiotika adalah unsur fundamental dalam Semiotika dan Komunikasi, yaitu segala sesuatu yang mengandung makna. Keberadaannya mempunyai dua unsur yaitu penanda (bentuk) dan petanda (makna). Tanda yang dimanfaatkan dalam karya DeKaVe sebagian besar menggunakan ikon, indeks, dan simbol.
Sementara itu, kode dipahami sebagai cara pengombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk memungkinkan suatu pesan dari seseorang disampaikan kepada orang lain. Dalam konteks ini, kode kebudayaan, kode hermeneutik, kode semantik, kode narasi , dan kode simbolik banyak dimanfaatkan untuk melihat karya DeKaVe yang dijadikan objek kajian dalam buku ‘’Semiotika Komunikasi Visual’’ ini.
Bahwa kode semiotik struktural pada kasus tertentu tidak bisa untuk menganalisis teks karya DeKaVe, ketika karya DeKaVe tersebut keluar dari kode yang berlaku. Keluar di sini artinya bertolak belakang, menentang, atau melecehkan. Jadi semiotika struktural dengan ciri utama yang stabil tidak bisa menjelaskan teks yang lebih labil, untuk itu diperlukan kehadiran semiotika pascastruktural.
Berdasarkan point-point tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karya DeKaVe yang dijadikan objek kajian setelah ditafsirkan berlandaskan tanda verbal dan tanda visual, maka bisa diklasifikasikan berdasarkan kombinasi antara tanda, kode, dan makna.
Ketiga unsur semiotika itu (tanda, kode, dan makna) menjadi pertimbangan dalam melihat dan menangkap pesan yang mencuat dalam karya DeKaVe. Hubungan ketiga unsur tersebut sangat erat. Antara yang satu dengan lainnya saling melengkapi. 
Terkait dengan hubungan ketiga komponen tersebut, muncul entropi (tidak terjadi pengulangan) terhadap hubungan objek karya DeKaVe, konteks, dan teks, sehingga hasil penafsiran makna menjadi relatif ideal, karena informasi yang disampaikan sangat efektif dan persuasif. Masing-masing komponen menempati posisinya sesuai dengan porsinya.
Karena pesan yang terdapat pada berbagai karya DeKaVe yang menjadi objek kajian buku ‘’Semiotika Komunikasi Visual’’ ini adalah pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda. Maka secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal didekati dari ragam bahasa, gaya penulisan, tema dan pengertian yang didapatkan. Tanda visual dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis.
Penjelajahan semiotika komunikasi visual sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan – dalam hal ini karya DeKaVe– dimungkinkan, karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. 
Artinya, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Bertolak dari pandangan semiotika tersebut, jika sebuah praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya – termasuk karya DeKaVe – dapat juga dilihat sebagai tanda-tanda. Hal itu menurut Yasraf A Piliang dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri.
Mengingat karya DeKaVe mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) dan visual, serta merujuk bahwa teks karya DeKaVe penyajian visualnya mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem nonkebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan, maka pendekatan semiotika komunikasi visual sebagai sebuah metode analisis tanda guna mengupas tuntas makna karya DeKaVe layak diterapkan dan disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya. 
Sumbo Tinarbuko, Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.
Catatan: Tulisan ini dipresentasikan oleh penulisnya, Sumbo Tinarbuko, saat peluncuran bukunya “Semiotika Komunikasi Visual” pada tanggal 6 Februari 2008 di Gedung Wanita Tama, jalan Solo, Yogyakarta, jam 19.00.



3 Tolak Ukur Desain Brand Identity

1. Kemampuannya mengkomunikasikan gagasan inti (brand essence) dari brand concept dan strategi bisnis dari pemilik brand.
2. Secara Verbal memiliki brandname identity yang pendek dan unik sehingga mudah diingat. Sedangankan secara visual memiliki tingkat estetika dan mudah dikenali dan diingat (recognition), dan memiliki tingkat konsistensi, kejelasan dan kemudahan untuk dibaca (clarity & readability), dan kemudahan untuk diaplikasi serta diekspresikan dalam berbagai media dan ukuran (flexibility).
3. Memiliki tingkat penerimaan yang tinggi diantara target konsumen.
(How do They Think, Mosher, Hal.32)

Sabtu, 30 Januari 2010

Iklan termahal adalah iklan yang tidak pernah dibaca audiens!

Iklan termahal adalah iklan yang tidak pernah dibaca audiens!

Semakin banyaknya spanduk, billboard, pamflet, poster yang penempatannya tidak teratur membuat pandangan menjadi tidak enak. Jalanan seperti tidak ada keteraturan. Lihat saja: ditiap pohon tertempel poster, spanduk-spanduk terpasang saling menumpuk, billboard beragam ukuran saling berjejer, sungguh tidak ada keindahannya.Pesan dari media publikasi itu tidak akan mudah dipahami, karena masyarakat (Audiens) malas untuk menangkap isi pesannya. Sadarkah kita ? Biaya untuk Media Publikasi (Iklan) itu sangatlah besar

Iklan termahal adalah iklan yang tidak pernah dibaca audiens!

Jadi bagaimana?

Pahami Content dan Context Iklan

Content adalah materi iklan. Sedangkan context adalah penempatakan iklan dititik tertentu.

Content : Context :

- Isi Iklan - Titik Pemasangan

- Ide/Kreatifitas Iklan - Kompetitor

- Cara Penyajian (Crafmanship) - Environment

Content menjadi tanggung jawab Si Pengiklan serta crafmanship desainer Iklan tersebut. Si Pengiklan kadang untuk penghematan biaya biasanya berupaya memasukkan sebanyak mungkin pesan dalam sebuah desain iklan, padahal hal itu tidak efektif. Struktur otak manusia memiliki keterbatasan untuk menampung jumlah pesan yang masuk. Sehingga pesan yang bermacam-macam dan banyak jumlahnya akan menjadi mubazir karena malah membingungkan target audiens.

Focusing Iklan sangat penting agar iklan tepat sasaran. Tidak menimbulkan bias pesan. Adanya Keunikan, Kesederhanaan dengan white space dan pesan tunggal akan menjadi nilai plus sebuah iklan.

Context menjadi tanggung jawab pemerintah dan advertising agency, dimana pengaturan titik penempatan media, serta besar kecilnya media. Yang terlihat sekarang sepertinya tidak ada pengaturan hal itu, yang penting income pajak iklan masuk. Kurang memperhitungkan efektifitas dari media luar ruang tersebut.

Memaksimalkan Iklan luar ruang untuk mempercantik wajah kota dan penghuninya dengan cara memaksimalkan fungsi ruang kota menjadi:

· Galeri Seni raksasa

· Sarana pencerahan (Enlightment)

· Sarana Pembelajaran (Education)

· Media Komunikasi ( Silaturrahmi)

· Media Promosi yang cerdas

Efektivitas Iklan Luar Ruang (Papan Iklan)

- Jangkauan (kemampuan menjangkau khalayak sasaran)

- Frekuensi (efektif 13 Minggu) Kemampuan media mengulang pesan iklan yg.

Sama terhadap Audiencesaat mulai dilupakan

- Kuntinuitas (Kesinambungan penyampaian pesan iklan)

- Ukuran (Kemampuan media memberikan ukuran yang dituntut oleh pesan

iklannya)

- Warna (kemampuan menyajikan warna yg. Dituntut sesuai dgn. Suasana yg

Dikehendaki)

- Pengaruh (Kekuatan pasan iklan yang kreatif dapat mempengaruhi khalayak.)

Kendala pada Papan Iklan

- Efektif bagi pengendara sepeda motor

- Efektif bagi mereka yang duduk di Jok depan mobil

- Efektif bagi sopir, Bos baca koran

- Tidak memberikan ruang pandang yang Cukup bagi Bus & Kendaraan umum

- Polusi Visual

Menentukan Lokasi Pemasangan Papan Iklan

- Arus Perjalanan (Apakah Jalur Cepat / Lambat)

- Jenis Produk (Apakah jenis produk yang dibutuhkan Audiens )

- Jangkauan

- Kecepatan Arus Lalu Lintas (Highway +/- 7 Detik)

Artinya, Papan Iklan hanya punya waktu 7 detik

untuk dilihat dan dibaca !

- Persepsi orang terhadap Lokasi

- Keserasian dengan Lingkungan

Ambient Media adalah salah satu media beriklan yang memanfaatkan lingkungan (environment) dengan cara seunik mungkin sehingga setiap audiens yang melewatinya bisa tersenyum, tertawa, dan ingat akan pesan iklan tersebut. Kekuatannya terletak pada pesan iklannya yang terintegrasi dengan lingkungan.